Ada yang mau ke Pulau Belitong?? Pulau yang terkenal dengan Laskar Pelangi dan Keindahan Pantainya..
Silahkan Cek:
Promo Travelling Wisata Murah ke Belitung 3D-2N 3 Hari 2 Malam
*****************************************************************************************
Ada seseorang yang cukup saya dekat bercerita tentang pengalaman dia membeli barang untuk keperluan kantornya. Dikarenakan ada barang di kantor dia yang harus diupgrade, pergilah dia belanja dengan membawa bekal uang dari tempat kerjanya.
Singkat cerita setelah berkeliling beberapa toko, akhirnya dia mendapat barang tersebut dengan harga paling minimal tetapi dengan spesifikasi sama. Sampai ketika di scene bagian pembayaran, dia bilang agar dibikinkan nota belanja karena ini untuk keperluan kantor. Jeng jeng jeng tiba-tiba kasir tokonya bertanya dengan ekspresi agak cemas “notanya tetap segini atau ….”. Saat bilang “atau …”, gesture tangannya diangkat-angkat seperti ekspresi dinaikkan. Sadarlah si dia tadi bahwa dia tengah berhadapkan dengan salah satu pintu masuk musuh besar bangsa ini. Untungnya dia langsung bilang “segitu aja”. Syukur Allhamdulillah. Bertanyalah dia ke temannya tentang hal ini. Temannya bilang “udah biasa”.
Mendengar kisah ini, saya berpikir. Sepertinya di negara ini, penyelewengan atau bahasa kerennya korupsi sudah didukung (meminjam istilah Apple fanboy atau Android user) oleh yang namanya “Ekosistem”. Bukan hanya karena ada “niat” dari pihak yang berpeluang menyeleweng. Akan tetapi mungkin karena ada tawaran “kesempatan” secara halus untuk menyeleweng dari lawan transaksi.
Mungkin si pihak lawan transaksi sendiri sebenarnya enggan untuk menawarkan “kesempatan” seperti itu. Mungkin mereka hanya “terikut tradisi”. Atau mungkin juga “terbawa stigma” bahwa kalau transaksi dengan keharusan membuat nota “diperbolehkan adanya” lebih-lebih sedikit.
Siapa yang harus sadar diri untuk “menghancurkan” ekosistem seperti ini. Menurut saya kedua belah pihak harus “menahan diri”. Dari pihak yang berpeluang menyeleweng harus menghilangkan niat, tidak meminta atau menolak secara tawaran kesempatan untuk menyeleweng baik yang “secara halus” maupun “terang benderang”. Dari pihak lawan transaksi sendiri harus bisa menolak jikalau ada permintaan untuk mark nota belanja. Jangan malah karena merasa sudah biasa atau sudah menjadi tradisi malah menawarkan kesempatan untuk menggelembungkan nilai belanja barang.
Sulit? Memang. Apalagi jika sudah menjadi tradisi dan ekosistem. Tetapi akankah kita “membiarkan”, “membiasakan diri” sementara disaat lain kita sering “menghujat” kelakuan korup para pejabat. Ah cuma sedikit saja, mereka kan korupsi lebih banyak digitnya. Iya, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Jangan-jangan kelakuan para pejabat tersebut merupakan cerminan kelakuan masyarakat yang dipimpinnya?
Apakah anda pernah ditawari kesempatan seperti ini? Apakah Anda pernah menawari kesempatan seperti ini? Apakah anda pernah meminta untuk mendapatkan seperti ini?
Saya lebih respek ke orang-orang yang mendapatkan kesempatan untuk korupsi tetapi dia menolak. Dibandingkan mereka yang teriak-teriak anti korupsi tetapi malah terjerumus ketika berada di dalam ekosistem yang korup.
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?
Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput (dari azab) Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu.
(Al- ‘Ankabuut 2-4)
Baca juga postingan saya yang lain: Mari Bebersih…